Jalan Goyang di Depan Rumah
Administrator maduratoday.com
Madura Today – Jalan di depan rumah saya becek. Pada musim hujan seperti ini, pengendara motor atau pejalan kaki yang lewat harus goyang-goyang untuk menahan keseimbangan karena licin. Lebih miris kalau yang lewat adalah wanita hamil atau ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya. Kalau terjadi apa-apa di tengah jalan, siapa yang tanggung jawab?.
Beberapa tamu tetangga sering berseru, “Haduhhh… kok jalannya rusak parah sih?” Mereka bilang dengan keras. Mungkin supaya didengar oleh ibu saya. Dengan suara kecil, ibu bilang “Masalah siapa?”.
Keluarga saya merasa tersinggung. Kondisi jalan ini seolah menjadi tanggung jawab penuh keluarga. Padahal akan dilewati bersama. Kami punya batas halaman, yang merupakan urusan pribadi dan jalan, yang merupakan urusan umum.
Merasa tidak enak, Ibu saya sudah beberapa kali membeli batu sungai untuk memperbaiki jalan itu. Hitung-hitung, itu akan memudahkan orang yang mau berkunjung ke toko kami untuk beli-beli atau lewat saja.
Tetapi, bukan lantas jalan itu hanya milik keluarga kami. Kalau perbaikan jalan tersebut memang diamanahkan sepenuhnya sebagai tanggung jawab kami, itu artinya kami berhak membuka atau memblokir jalan sesuai kemauan kami. Tetapi apa memang seharusnya begitu?.
Saya coba bertanya ke orang-orang yang nongkrong di warung kami apakah jalan ini tidak pernah menjadi perhatian. Pengakuan mereka membikin saya jengkel, “Dari kemarin-kemarin udah banyak yang memfoto jalan ini. Mungkin buat bahan proposal proyeknya, tetapi sampai sekarang tidak terjadi apa-apa.”.
Sepupu saya menambahkan, “Jalan itu mau diaspal. Katanya, orang sini gak suka jalan paving.” Kami membicarakan ini selama berjam-jam sambil tertawa.
Menurut kami, mau suka atau tidak suka kalau jalan sudah bagus, pasti tetap dilewati dan bukan dibongkar. Justru yang membuat “tidak suka” adalah jika jalannya tak kunjung diperbaiki alias masyarakat hanya melahap janji palsu.
Konon, kabar pengaspalan jalan di Bapelle ini khususnya di depan rumah saya dari barat sampai ke timur sudah beredar sejak pertengahan tahun 2016. Jalan akan mulai diaspal sejak bulan Juni. Berhubung ada masalah entah masalah apa itu tiba-tiba diundur ke tahun 2018.
Apa yang terjadi saat tahun 2018 tiba?
Orang-orang masih tetap goyang-goyang. Begitu hujan turun, batu-batu itu ikut hanyut karena tanah yang menahannya semakin terkikis, sementara di bagian pinggir tidak ada selokan. Lalu becek lagi. Sampai kapan asyik bergoyang?.
Ini memang sedikit menjengkelkan. Orang-orang di sini sering membicarakan kemajuan. Kemajuan desa, pangan, teknologi dan semacamnya. Tetapi logikanya, kalau jalan tidak kunjung diperbaiki, kemajuan akan datang lewat mana?
Menurut penulis, kemajuan itu sama seperti transportasi. Ia akan selalu memilih rute terbaik untuk sampai ke tujuan. Rute yang tidak memungkinkan pasti dihindari. Kalau kemajuan tak kunjung sampai ke Bapelle, boleh jadi sedang macet atau terjebak di tengah jalan yang rusak. Ia tak bisa menembusnya dan harus menunggu lama.
Kita nyaris tak pernah memperhitungkan keuntungan jalan yang bagus entah karena saking asyiknya bergoyang sampai lupa atau memang malas merenungkannya. Kalau jalan ke Karduluk bagian utara sebagus jalan dari Pasar Laju Prenduan ke utara atau Kapedi, banyak yang bisa kita nikmati: mengurangi pegal karena keseringan goyang-goyang atau motor olang-oleng di atas kerikil-kerikil copot, tidak malu pada tamu-tamu, dan sales bisa masuk membawa produk-produk kebutuhan.
Jika sales perusahaan bisa dengan mudah masuk ke kawasan kita, kemungkinan besarnnya, barang-barang banyak tersedia dan lebih murah. Satu contoh, tabung gas melon (LPG). Sales gas melon menjual dengan harga dibawah Rp15.000, per tabung kepada resellernya di pinggir jalan provinsi seperti Toko-toko di Prenduan.
Toko-toko di Bapelle banyak mengolak ke sana dan harganya tentu disesuaikan dengan laba yang layak didapatkan oleh penjual. Dengan harga Rp 15.000,- dari reseller di Prenduan, harga jual tabung menjadi sekitar Rp 18.000,- di Bapelle.
Bayangkan jika warga sedang mengadakan acara besar-besaran dan perlu membeli tabung dengan stok yang banyak. Apa tidak semakin tercekik?.
Ini akan berubah jika para sales gas melon berhasil memasuki kawasan kita. Toko-toko Bapelle bisa mendapat harga yang sama dengan para reseller lain. Masyarakat bisa lebih menghemat sedikit. Jika terbiasa sedia delapan belas ribu untuk pembelian tabung, kita punya sisa tiga ribu untuk disimpan atau saku anak mengaji.
Kok jadi merembet ke masalah gas melon, mas?.
Sesungguhnya, arah pembahasan ini tidak sedang dibelokkan ke masalah gas melon. Ini hanyalah salah satu bahan renungan yang diharapkan semakin membulatkan tekad kita untuk memperbaiki jalan—tidak hanya di depan rumah saya, melainkan semua akses jalan masuk ke Karduluk Utara.
Kita tak perlu terus-terusan menanyakan kapan pemerintah turun tangan. Justru, yang harus dipertanyakan adalah kemana hilangnya orang yang berkali-kali memfoto jalan untuk proposal proyek dan kemana hilangnya kesadaran orang-orang?.
Selagi ada kepercayaan, masyarakat tentu mendukung dan berharap. Dan masihkah kita percaya? Jangan-jangan, air hujan tidak hanya mengikis tanah yang merekatkan batu-batu di jalan itu, tetapi juga kepercayaan masyarakat dalam waktu yang lama. Apa yang harus diingat dan diperhatikan adalah bahwa yang lewat di situ adalah kita sendiri, anak-anak, guru-guru madrasah, wanita hamil, mungkin juga ibu-ibu yang sedang menggendong bayinya sambil membawa gas melon.
Pertanyaannya, sampai kapan mereka sanggup berjalan sambil goyang?.
Penulis : Michael Musthafa
Alumni Nurul Jadid dan PP. Anuqayah daerah Lubangsa. Sekarang tinggal di komunitas Garawiksa Instititute Yogyakarta. Belejar di UIN Sunan Kalijaga jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.