Dari Dunia yang Penuh dengan Lelucon
Administrator maduratoday.com
Madura Today – Dunia ini dipenuhi lelucon. Andai aku bisa menyadarinya, aku tak akan berhenti tertawa sepanjang waktu. Tuhan hanya tidak ingin aku gila dengan semua itu dan karenanya.
Dia membuat masalah-masalah untuk dibenturkan dengan kesadaranku dan itu akan menunda tawa dan kegembiraan untuk sejenak.
Itu seperti video iklan yang menjeda tawa penonton yang menyaksikan tayangan stand up comedy di televisi.
“Kumohon, aku tidak mau ikut-ikutan gila.” kata Rosita sambil memukulkan bantal tepat ke mukaku.
Kami sudah tujuh tahun menikah dan terbiasa mengisi malam-malam sebelum tidur dengan obrolan-obrolan lucu. Biasanya tema tentang negara, sekolah, kegagalan atau hal-hal kecil yang kami alami sepanjang hari.
Meskipun tidak selalu lucu, setidaknya ada kejanggalan yang kami temukan. Ia terkial-kial dan di waktu yang sama aku menciumnya. Ia bilang, aku memang pintar mencari-cari kesempatan.
Malam ini kami berbicara tentang Guru BK yang datang ke rumah tiga hari. Ia mengadu pada kami bahwa Beni tidak pernah patuh pada aturan sekolah meski sudah beberapa kali dihukum.
Kemarin ia berkelahi lagi dengan teman sekelasnya karena bukunya disobek. Kepala sekolah geram dan meminta sang Guru BK datang menemui kami.
“Saya ingin Bapak dan Ibu melakukan sesuatu.” katanya dengan raut wajah yang pucat.
“Kami ingin Anda yang melakukan sesuatu.” balas Rosita.
Si Guru BK tampak kebingungan mendengar tanggapan Rosita. Ia memiringkan kepala dengan dahi berkerut dan mulut menganga, “Maksud Ibu apa?”
Saya lalu menyela, “Biar saya jelaskan. Kami menyekolahkan Beni karena tidak sanggup menghadapi kelakuan buruknya. Kami percaya di sekolah ia akan diajari tata krama dan cara menjalani hidup yang baik. Itulah yang membuat kami semangat melunasi biaya sekolahnya dan sekolah selalu sigap menerima uang kami. Kalau masih kami yang harus mengurusnya, untuk apa biaya sekolah yang kami tanggung selama ini? Apa sekolah sedang punya tugas yang lebih penting lagi?”
Pembicaraan berhenti di situ. Si Guru BK mungkin mempunyai kesan tidak diterima dengan baik bertamu ke rumah kami. Ia memilih pamit pulang tanpa meninggalkan janji apa pun.
Keesokan harinya, Kepala sekolah mengirimi kami surat bahwa Beni sudah dikeluarkan dari sekolah. Ia pasti frustasi dan merasa terpukul. Dalam keadaan seperti itu, Rosita memeluk Beni dengan erat dan tidak melepasnya. Begitu lama. Sampai suasana hatinya kembali pulih. Kami meyakinkan anak itu bahwa ini bukan akhir dari segalanya.
Tetangga-tetangga mulai melihat kami dengan sinis. Terlebih setelah Kepala Sekolah menghimbau dan tidak menjadi orang tua yang tidak bisa diajak kompromi, tidak mendukung perjalanan para guru dalam membimbing siswa dan tidak bertanggung jawab seperti kami.
Reputasi keluarga kami hancur dan sekolah bertanggung jawab atas kejadian ini. “Bagaimana bisa?” kata tetangga sebelah rumah yang sering merasa terganggu dengan keberadaan kami.
Rupanya ia tidak mengerti apalah arti sekolah jika tidak dapat membuat perubahan kecil dan tidak becus mengurus anak kecil seperti Beni. Alih-alih bertanggungjawab, pihak sekolah justru mencederai nama baik keluarga siswanya dan mereka marah atas kegagalan mereka sendiri. Ada dengan semua ini? Ah.
Kami mengajak Beni rekreasi untuk memulihkan mentalnya. Ia bilang sudah lama ingin mengunjungi kebun binatang. “Aku ingin melihat gajah dan harimau.” katanya.
Aku dan Rosita tersenyum melihatnya gembira hari ini. Di kebun binatang, Beni menjadi jarang berkedip. Matanya mencari-cari sel yang dihuni harimau. Saat melihatnya, ia girang dan lari ke arah sel itu dan menjulurkan tangannya untuk mengelus kepala harimau itu.
Rosita berteriak dan tanpa pikir panjang lari mengejarnya, lalu menariknya dari sel karena khawatir harimau itu melahap lengannya. Beni mungkin belum tahu bahwa harimau bisa menggigit, tetapi kala itu wajahnya pucat karena terkejut.
Pengunjung lain yang ikut terkejut berkumpul mengitari kami untuk memastikan apa yang terjadi pada Beni. Beruntung Beni tidak apa-apa. Rosita bisa gila jika harimau itu melukai anak kami.
Di saat banyak pengunjung berkumpul di depan sel harimau, seseorang memanfaatkan kesempatan. Pria kurus memakai jaket silver dan topi hitam merogoh tas salah satu ibu-ibu. Ia mengambil dompet dan ponsel lalu lari ke arah gerbang. Si Ibu lekas sadar dan berteriak, “Copeeet…”
Perhatian kami dialihkan pada pria yang lari terbirit-birit itu. Ia berusaha keras menjangkau gerbang untuk keluar dari area kebun. Sayangnya ia tidak lolos dari petugas yang menjaga pintu gerbang. Lalu para pengujung mendekat pria yang ditangkap petugas itu dan memukulnya. Para petugas kewalahan untuk mencegahnya.
Aku hanya diam saja menyaksikan itu. Pun Rosita yang masih belum bisa meredakan kekhawatirannya. Kulihat pria itu dipukuli sampai babak belur dan tidak ada yang bersedia menolongnya.
“Kenapa kau tak menolongnya?” tanya Rosita padaku.
“Aku lebih peduli padamu dan Beni. Lagi pula kita jarang melihat kejadian seperti ini dan kita harus menyimaknya.”
Rosita terpaku melihat keributan itu dan tidak menoleh padaku. “Ya. Tetapi, itu hukuman yang terlalu berat baginya.”
“Itu sudah setimpal dengan kesalahannya, sayang. Kesalahannya adalah ia hanya mencuri satu dompet saja.”
“Kau benar. Coba saja ia mencuri dengan jumlah yang lebih banyak. Hukumannya tidak akan seperti ini.” Aku diam.
Ia melanjutkan, “Andai ia mencuri dana anggaran proyek berjumlah triliunan. Ia bisa membayar keamanan untuk menyambutnya dengan tameng lalu melindunginya dari serangan massa. Petugas keamanan lalu bilang, ‘Akan kami tangani’ dan perkara itu hilang tak diurus-urus.”
Kami tertawa dalam suasana panik itu. Sekali lagi, dunia kembali menayangkan lelucon-lelucon pahit yang biasa terjadi. Ini bahan yang bisa kami ceritakan ulang pada malam hari—tentu setelah Beni, yang masih terlalu lugu untuk memahami semua kejadian ini – tidur di kamar. Tidak ada yang lebih menggembirakan dari ini, dari setiap kejanggalan peristiwa setiap hari, dari suasana dunia yang penuh dengan lelucon.
Oleh : Michael Musthafa El Mahbub
Alumni Nurul Jadid Karduluk Sumenep,
Belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.