Ada yang Mesti Kita Lupakan Setelah Ini
Administrator maduratoday.com
Cerpen : Purnama Jingga*
Mei;
Aku puas kau bahagia, meski malam ini purnama malu-malu untuk menemui perasaan kita. Selamat meninggalkan segala hal yang menjadi tanggungan hati. Kau benar mulai waktu itu kita harus saling melupakan, saling meninggalkan dan saling membuang.
Membuang ingatan, membuang mimpi, membuang cinta, juga membuang segala kenangan. Kenangan yang begitu merajam kesaksian dada. Aku bodoh jika masih berlarut.
Kau pernah bilang, Tafqi, perasaan nyaman adalah jebakan, dan cinta adalah seekor anjing tanpa kendali. Dan sekarang akulah mangsanya, Sayang. Rela jatuh cinta dan harus bertanggung jawab mengumpulkan serakannya sendiri.
Dari dulu, aku tidak pernah bisa memisahkan tali yang memintal antara debarmu dengan jantungku. Tapi waktu yang memotongnya dengan pasti. Barang kali kebosan itu yang menjadi jalan keluar.
Engkau adalah kebahagiaan yang perlu aku pikirkan juga kebahagiaannya, dan sekarang kau lebih memilih cara bahagia selain memilih perjuangan denganku.
Tafqi, sejak saat itu aku harus percaya bahwa cinta yang datang dan dirawat dengan penuh rahasia, harus dilupakan dengan rahasia juga. Dan aku akan melakukan hal yang sama denganmu, tidak memikirkan cinta itu lagi.
Dua minggu yang lalu, aku masih menikmati cintamu hanya milikku, tidak pada siapapun selain aku. Serasa tiada guna lagi, malam penuh saksi, angin berdesir lirih, gelombang perasaan, debar kesaksian dan larik-larik yang penuh cinta. Bukti bahwa kita adalah sepasang kekasih yang tenang meski gusar di kesepian sendiri,tapi itu yang janjikan “romantic”. Manis sekali, Tafqi.
Di bawah alismu yang liar, cintaku berlayar. Oh, cintamu memang harus kandas di sana, menemani baying demi baying setiap ciuman yang aku titipkan di bawah matamu yang ritmis. Lupakan, sayang. Aku ingin menghapusnya. Ada bekas bibirku di sana, yang sengaja aku tinggalkan, nakal hingga tuntas di puncak setia.
Dan sekarang aku yang harus menjadi saksi. Hal demikian kau lakukan dengan orang lain. Munafik sekali cinta itu. Kekejaman yang mulai membuta hingga memakan janjimu, pembohong.
Dia bersaksi melakukannya, karena rengekan cinta. Kau munafik sekali, Tafqi. Mestinya kau tak perlu hadiahkan purnama untuk langitku, juga tak perlu kau hidangkan laut yang penuh riak gelombang asmaramu di meja makanku. Seumpama hujan aku sudah terlanjur basah kuyup dengan segala kenyamananku denganmu.
Dan aku terlambat menyadari, Tafqi, nyatanya aku terkecoh dengan nanar matamu yang menyimpan teduh empedu. Aku kalah pada perasaanku sendiri yang masih saja mengagungkan nama di atas kebaikan kekasihku. Kau pecundang tenyata, menjebakku dengan beberapa tulisan roman agar aku tetap mempercayai perasaan cinta yang kita bayar bersama.
Tafqi, engkau kekasihku yang baik!
Dulu ketika cintaku masih luruh di hatimu, aku membenci siapapun yang berani melukaimu ataupun mencintaimu sekalian, termasuk kekasihmu.!
Namun, entahlah Tafqi, aku ingin melupakan segalanya. Membuang jauh-jauh perasaan yang sempat kita jalankan di hari lalu. Semua tentang kebiasaanmu “menemui purnama yang cantik di bukit kenang” Itu sebuah omong kosong bagiku.
Berjanjilah untuk ketenangan hidup kita masing-masing Tafqi, bahwa luruh kerelaan dan air mata kita hanyalah sebuah kemunafikan yang kita jalin demi keberhasilan sebuah tulisan dan bukan demi perasaan.
Tafqi;
Mungkin benar katamu, kebosanan adalah jalan keluar dan waktulah yang sudah memotong debar kita dengan jelas.
Berwaktu yang tidak sedikit untuk sebuah rindu, aku merasa malu pada diri sendiri. Engkau yang aku cinta tanpa ujung harus aku tinggalkan dengan sakit yang membubung. Bukan aku tidak sakit, Mei. Sungguh kepedihan yang meronta. Kau rasakaan sendiri bukan hanya cintaku yang pasrah merayu batas tapi sakit pun lebih tangguh daari sekadar itu.
Aku malu pada kenyataan ini, Mei. Malu pada semua pernyataan yang pernah aku buat setulus hati namun sekarang harus menikam diri sendiri. Sepasang hati yang erat sekali saling lindung dan melindungi hingga luluh pada kehendaknya dan sekarang harus melupakan dan meninggalkan. Siapa yang mampu dengan semua itu, juga tak terkecuali aku, Mei.
Engkau boleh saja berpikir sesukamu tentang kekejaman tapi jangan salahkan setiap janjiku, Mei. Ia hadir mengatasnamakan ketulusan dan hadir menyertai kesunyian jiwa dengan cahaya yang ditunggui yaitu cinta yang kita perjuangkan sedari dulu.
Aku memang yang salah, tidak membicarakan hal ini terlebih dahulu denganmu. Tapi apa yang bisa kita perbuat?, terus berada dalam ketercengangan dan kerusuhan batin seperti itu, teramat sempurnalah kebodohan kita.
Kekasih memang perlu membicarakan apapun langkah yang akan dilakukan agar tak ada yang merasa dirugikan dan tidak ada yang mersa tidak dianggap karena keduanya adalah kinerja yang saling menghubungkan. Dan aku lebih berniat menanggungnya sendirian, menjadikanmu sebagai korban, seolah tidak ada perasaan lain selain perasaanku saja. Ingat, Sayang dari sejak itu apa guna perasaanmu di hidupku.
Dari awal aku sudah mengerti, Mei, kau akan sangat sakit. Bahkan sampai huruf-huruf ini berjatuhan engkau sudah mencapai puncak kepedihan yang katamu itu luar biasa pedihnya. Tapi setidaknya aku sudah pernah mendengar bukan bahwa dalam berbagai kisah roman, cerita kawan dan film-film tentang yang runruh hatinya karena ditinggalkan kekasihnya padahal saling mencintai.
Kau harus pula tahu dalam hal itu, Mei. Yang lebih sakit adalah yang meninggalkan. Kau cukup nikmati sakit karena ditinggalkan tapi aku sakit karena tak dapat memiliki juga sakit karena telah menyakitimu, betapa berdosanya kau, Mei. Aku ikhlas untuk semua tuntutan kesalahan ini.
Dari dulu kau selalu menuntutku pergi sebelum semuanya kacau. Dan sekarang waktunya telah tiba, aku mau menuruti itu, maafkan Aku, Mei. Keputusan terakhir aku serahkan padamu. Kau masih mau berlarut dalam cinta yang seperti parasit itu atau pergi dan saling melupakan.
Kita memang harus menjadi aktor yang tega dan tangguh meski di jam-jam tertentu ada ketidakkuatan yang harus segera diobati denganmu, dan itu hanya denganmu. Sama sekali tidak ada alasan yang menjadi pertimbanganku, Mei Sayang, seperti katamu “engkau adalah kebahagiaan yang harus aku pikirkan juga kebahagiaannya” inilah pikiran kebahagiaan itu. Kita meski saling tidak cinta lagi.
“Sudah kubilang jangan mencintai seorang penyair. Kemanapun ia pergi tujuannya hanya untuk mencintai kemudian meninggalkan untuk dijadikan inspirasi”.
Annuqayah, Kembhang Pangesto, 23 Desember 2019.
* Purnama Jingga, Santri PP.Annuqayah Lubangsa Putri dan kader PMII Komisariat Guluk-Guluk. Aktif di Teater Al-Fatihah, Supernova IKSTIDA dan Kembhang Pangesto sebuah komunitas pecinta seni yang berkembang di Madura.