Papers Today

Surat Lampau

Website | + posts

Administrator maduratoday.com

Surat Lampau

Penulis: Ramli Lahaping*

Warni sudah tak kuasa menahan rasa penasarannya. Setelah bersabar sekian lama, ia tak sanggup lagi meredam tanya-tanya di kepalanya. Ia yakin kalau Joni, suaminya, bermain-main dengan perempuan lain. Karena itu, ia mulai mengambil langkah untuk melakukan penyelidikan secara sembunyi-sembunyi. Ia ingin menguak kebenaran yang sesungguhnya.

Kecurigaan Warni sudah berlangsung lama. Jauh sebelum usia pernikahan mereka masuk tahun kedua puluh lima. Dahulu, di awal pernikahan, ia kerap melihat suaminya menerima amplop dengan sikap antusias dari petugas pos. Dan kini, ia pun sering menyaksikan suaminya senyum-senyum sendiri kala menatap layar ponsel, hingga izin pergi dengan berbagai alasan.

Anggapan Warni kalau suaminya bermain hati, memang hanya didasarkan pada terkaannya sendiri. Ia tahu kalau hasrat laki-laki terhadap perempuan, tak akan pernah mati. Ia pun tahu soal gejolak pubertas kedua yang terjadi di usia tua, yang barangkali tengah melanda suaminya. Sebab itulah, ia merasa patut mengambil sikap untuk menghentikan kesesatan sang suami.

Kalau suaminya benar-benar terbukti berbuat serong, perasaan Warni tentu akan hancur. Jikalau begitu, sedia tidak sedia, ia akan mengambil sikap yang tegas, bahkan mungkin memilih untuk bercerai. Bagaimanapun, ia telah menjaga kesetiaannya di dalam tali pernikahan selama puluhan tahun, dan ia sungguh tak akan sanggup menerima pengkhianatan atas perjuangannya itu.

Warni memang telah berjuang keras untuk mencintai Joni. Ia mesti berjibaku dengan masa lalunya sendiri. Itu karena dahulu, ia pernah terikat hubungan istimewa dengan Amri, dokter muda yang melaksanakan tugas praktik di puskesmas desanya. Mereka saling mencintai, meski berbeda latar belakang. Ia berasal dari desa terpencil, sedangkan Amri dari kota besar.

Namun akhirnya, cinta Warni dengan Amri berakhir dalam misteri. Setelah masa praktiknya habis, Amri kembali ke kotanya dengan janji untuk kembali. Tetapi ternyata, lelaki itu tak pernah datang lagi, dan Warni tak juga mendapatkan kabar darinya. Maka sejak keterpisahan itu, Warni pun berjuang untuk membunuh perasaan cintanya yang telah dicampakkan tanpa alasan.

Namun beruntung, kedukaan Warni tak berkepanjangan. Dengan begitu saja, Joni, tetangga samping rumahnya, seorang guru honorer sekolah dasar di desanya, yang masih terhitung sebagai sepupu dua kalinya, meminangnya untuk menjadi seorang istri. Warni pun menerima lamaran itu, sembari berupaya menanam dan menumbuhkan cintanya untuk Joni.

“Kenapa kau ingin menikah denganku,” tanya Warni kepada Joni, pada satu malam di awal waktu pernikahan mereka.

Joni lantas tersenyum dan membelai rambut Warni. “Karena aku yakin kalau hanya aku yang bisa membahagiakanmu, dan aku hanya bisa bahagia jika bersamamu,” balasnya, terkesan menggombal.

Warni pun tersipu malu. “Tetapi kau janji akan setia dan tidak akan meninggalkanku selama-lamanya, kan?”

Joni mengangguk tegas. “Tentu saja, Sayang,” jawabnya, sambil menggamit dagu Warni. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak hubungan kita.”

Akhirnya, Warni pun meyakini kesetiaan Amri dan memasrahkan cintanya untuk lelaki itu.

Seiring waktu, upaya Warni untuk mencintai Joni seutuhnya, akhirnya berhasil. Ia tak lagi menyimpan harapan cintanya untuk Amri. Karena itulah, ia tak rela kalau Joni kembali menghancurkan perasaannya. Ia ingin Joni menjadi lelaki yang akan mendampinginya sepanjang hidup. Ia ingin Joni bersetia dan tak berpaling ke lain hati.

Demi cintanya, Warni pun bernafsu untuk menyelidiki gelagat suaminya. Ia bertekad mengakhiri rasa penasarannya dan memperjelas nasib pernikahannya. Ia tak ingin terlambat bergerak sampai gosip menyebar kalau-kalau suaminya berselingkuh. Ia tak ingin kalau di usia mereka yang sama-sama kepala lima, mereka malah hidup dalam ikatan pernikahan yang berselimut aib.

Kehendak Warni untuk melakukan penyelidikan sendiri, memang sudah bulat. Ia sudah tak mau menyandarkan kepercayaannya pada perkataan suaminya. Itu karena sebelum-sebelumnya, setiap kali ia menyinggung atau bertanya soal kecurigaannya, sang suami hanya akan berkilah enteng kalau dia hanya berkomunikasi dan bergaul dengan kawan-kawannya atau teman kerjanya.

Dan hari ini, Warni pun berada pada kesempatan terbaiknya. Suaminya telah beranjak ke kota dengan alasan untuk mengikuti pelatihan peningkatan kualitas pengajaran guru. Karena itu, Warni punya waktu yang cukup untuk membongkar barang pribadi suaminya dan mencari bukti-bukti perselingkuhannya sejak dahulu sampai sekarang, entah foto, kado, atau apa saja.

Tanpa menunda lagi, Warni pun masuk ke dalam kamar dan mengambil koper suaminya dari bawah kasur. Ia lantas membukanya dengan kunci dari tempat sembunyian suaminya. Tetapi ia tak melihat apa-apa selain tumpukan kertas-kertas. Sampai akhirnya, ia menemukan tiga buah amplop yang ia yakini sebagai surat dari seseorang untuk suaminya pada masa dahulu.

Tetapi setelah menyibak isi amplop itu, Warni hanya menatapnya sebagai goresan tanpa makna. Ia sama sekali tak bisa membaca karena ia tak pernah sekolah akibat kemiskinannya sebagai anak yatim piatu sejak kanak-kanak, dan akses pendidikan yang sangat jauh pada masa kecilnya. Ia pun tak pernah punya kesempatan untuk belajar, apalagi setelah berstatus sebagai istri.

Nahasnya, suaminya yang seorang guru, malah tak mempermasalahkan keadaan Warni yang buta huruf. Bahkan suaminyalah yang membuat Warni pasrah menerima ketidakmampuannya membaca. Setiap kali ia mengungkapkan kehendaknya untuk belajar, sang suami akan berseloroh kalau ia tak perlu bisa membaca untuk menjadi seorang istri yang baik.

Namun kini, Warni mulai membaca motif suaminya yang tak memberi dukungan agar ia bisa membaca. Ia yakin kalau suaminya yang menyembunyikan banyak rahasia-rahasia tertulis, tak ingin kalau ia mampu mengeja dan mengartikannya. Ia yakin kalau suaminya ingin agar ia tetap menjadi wanita yang bodoh agar sang suami bebas untuk membodoh-bodohinya.

Tetapi untuk sekarang, tidak lagi. Ia ingin menghentikan permainan suaminya. Karena itu, ia lekas memanggil Rini, seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, yang merupakan anak tetangga samping rumahnya. Ia lantas menyerahkan tiga pucuk surat temuanya kepada Rini, dan memintanya untuk membacakannya dengan menjanjikan imbalan uang.

Dengan penuh perhatian, Warni lalu mendengar pembacaan Rini. Perlahan-lahan, rasa penasarannya pun meluluh dengan sangkaannya yang ternyata salah dan malah melenceng pada pengetahuan yang lain. Bukannya mendengar kata-kata romantis dari siapa untuk suaminya, ia malah mendengar cerita dari Amri, mantan kekasihnya, yang ternyata penulis surat-surat itu.

Sampai akhirnya, dari surat-surat tersebut, Warni pun memahami misteri di balik berakhirnya cinta masa lalunya, bahwa Amri tak memenuhi janjinya untuk kembali karena terpaksa menikah dengan perempuan pilihan ibunya; bahwa ibu Amri tidak merestui hubungan mereka karena perbedaan status yang jomplang; bahwa Amri masih mencintainya setelah perpisahan mereka.

Atas pengetahuannya itu, Warni pun kalut sendiri. Ia kembali bergumul dengan kenangan masa lalunya. Ia terdampar ke dalam ruang kisah cinta mereka yang indah dan berakhir tanpa kata perpisahan. Tetapi dengan keinsafan, ia berupaya melawan jebakan hatinya itu. Ia sadar kalau setelah puluhan tahun, mustahil mereka bisa menyatukan cinta mereka kembali.

Kini, Warni pun memahami kalau suaminya adalah lelaki yang sangat mencintainya. Ia pun telah memahami alasan sang suami yang tak mempermasalahkan keadaannya yang buta huruf.

“Amri Hasiman itu siapa, Tante Warni?” tanya Rini kemudian.

Seketika, Warni kebingungan. Ia lantas berupaya memikirkan kilahan yang pas, kemudian memberikan jawaban yang kabur, “Bukan siapa-siapa, Nak. Itu hanya surat fiksi yang kukarang-karang. Ya, seperti cerita dongeng yang biasa kau baca.”

Rini pun memampang wajah penuh tanya. “Tante yang tulis?”

Warni mengangguk.

“Loh, bukannya Tante tidak bisa membaca?” sergah Rini.

Tak pelak, Warni kelimpungan. Terpaksa, ia kembali menutupi kebohongannya dengan kebohongan, “Siapa yang bilang aku tidak bisa membaca? Aku memintamu membaca surat itu, ya, karena aku ingin menguji kemampuan membacamu. Dan ya, ternyata kamu sudah sangat pintar.”

Atas pujian itu, Rini pun tersenyum dan tampak percaya begitu saja.

“Oh, ya, jangan ceritakan ini kepada siapa-siapa, ya. Ini adalah rahasia kita berdua,” pinta Warni.

Rini mengangguk, seolah menyanggupi.

Warni pun berharap demikian.***

Ramli Lahaping.

* Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Menulis cerpen berjudul “Pedagang Kebencian” yang berhasil menjadi salah satu Cerpen Terpilih pada Malam Anugerah Ngewiyak Vol, 26 Maret 2022. I. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button