Cerita Perajin Batik di Sumenep, Bangkit Usai Lama Vakum
Administrator maduratoday.com
Sumenep, (Madura Today) – Perajin batik tradisional di Desa Pakandangan Barat, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep mulai beraktifitas pasca dilanda pandemi.
Sedikitnya 60 perajin batik yang ada di kampung batik tradisional itu mulai berkarya setelah ada program pembuatan batik Baddai tradisional untuk seragam Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Sumenep.
Salah seorang perajin batik, Khotimah (55) mengatakan, sejumlah perajin sudah lama tidak berkarya karena tidak ada modal.
Waktu itu, hasil karya batik Baddai tersebut dijual ke pedagang namun tidak terbayar sesuai jumlah batik yang dihasilkan.
Misalnya, terkumpul batik sebanyak 10 potong, namun yang dibayar hanya tiga hingga lima potong saja. Itu berjalan dalam waktu yang lama sehingga modalnya habis.
“Tapi, saat ini pembatik tinggal mengambil bahan di koperasi yang dibentuk dan hasil batiknya juga dijual ke koperasi tersebut,” kata Khotimah, Senin (6/3/2023).
Selama aktifitas membatik vakum, perempuan yang sejak remaja menekuni produksi batik itu terpaksa harus mencari biaya hidup ke Malaysia.
Sebab, jika hanya mengandalkan penghasilannya dari bertani jagung dan memelihara hewan ternak, dipastikan tidak bisa hidup layak.
“Saya dua kali ke Malaysia, setelah aktivitas membatik mulai lancar, saya tidak berangkat lagi ke Malaysia, justru kebutuhan hidup mulai terpenuhi oleh hasil membatik ini,” ucapnya.
Selama ini, setiap pembatik bisa menghasilkan batik baddai sebanyak 10 potong selama satu Minggu. Para pembatik bisa menyetorkan hasil karyanya setiap hari Kamis.
Batik Baddai tersebut seharga Rp 135 ribu per potongnya. Hal itu sesuai kesepakatan antara pembatik dengan koperasi.
Semua pembatik yang menggarap batik Baddai itu merupakan anggota koperasi yang bersedia mengeluarkan modal tersebut, sementara koperasi menjual batiknya ke ASN dilingkungan Pemkab setempat.
“Bangkitnya batik Baddai ini membuat masyarakat di sini bisa hidup secara ekonomi lebih baik. Tidak hanya bisa menghidupi keluarga sehari-hari, tapi juga bisa menyekolahkan anak,” tegasnya.
Pembatik yang lain, Dauli menyampaikan, mayoritas pembatik yang tergabung di koperasi tersebut bisa menghasilkan batik sebanyak 10 potong per orang, jika dalam waktu satu bulan mencapai 40 potong per orang.
Sementara, hasil penjualan dari pembuatan batik Baddai itu diperkirakan mencapai Rp 5,4 juta perbulan per orang. “Tapi masih dipotong modal yang dikeluarkan,” paparnya.
Dengan bangkitnya batik Baddai ini warga sangat terbantu secara ekonomi, sebab warga yang berada di dua dusun itu hidupnya bergantung pada bertani jagung dan hewan ternak, sebagian lagi melaut.
Untuk proses pembelian hasil batiknya, para pembatik tidak menjualnya langsung ke pemakai, melainkan pada koperasi yang menaunginya.
“Kalau ada yang butuh, kami tidak bisa menjual langsung ke konsumen, tapi ke koperasi, jadi konsumen yang membeli ke koperasi,” tukasnya.
Penulis: Arifin | Editor: Dewi Kayisna