OpiniPapers Today

Disorientasi Pendidikan Berkawan Pandemi

Website | + posts

Administrator maduratoday.com

Madura Today – Kegamangan sosial (social nervouse) kemungkinan terlahir dari dua hal, jika dilihat dari perspektif pendidikan. Pertama, kurikulum yang diusung oleh lembaga resmi tidak mencerminkan kondisi kultural dan persepsi lokal. Ia semata merefleksikan dirinya sebagai “pabrik besar” yang dibangun di atas area keuntungan pragmatis yang tidak berwatak edukatif.

Fenomena itu bisa kita cermati lewat pergantian plate form hampir setiap pergantian kepemimpinan di tingkat elite nyaris seperti proyek besar yang hanya modal dasarnya dari mindset cari untung (jika tidak ingin disebut profit oriented).

Akibatnya, kepentingan yang lebih substansial (melahirlan masyarakat terdidik — educated people) seringkali tergantikan oleh kepentingan “bagi-bagi hasil” yang, sekali lagi, hanya berpihak pada segelintir orang. Dan pada saat yang sama, para guru, para pendidik, tidak bisa optimal dalam menjalankan peran utamanya sebagai sumber inspirasi dan sumber edukasi buat generasi.

Para guru (akhirnya) seringkali disibukkan dengan hal-hal normatif-administratif (walaupun yang satu ini penting, tetapi tidak sampai menyita waktu para guru untuk melahirkan pikiran-pikiran segar dan konstruktif untuk ditumbuhkembangkan di kelas tempat elaborasi nilai-nilai keilmuan).

Kemandirian (kedaulatan : meminjam istilah Gusdur dalam Islam Kosmopolitan) guru dalam mengeksplorasi “sejuta” ide dan apapun yang terkait dengan bekal generasi menghadapi masanya, nyaris “dirampas”, justru, oleh pernak dan pernik aksesoris di permukaan sebagai simbolisasi kepatuhan pada “sang penguasa” birokrasi.

Paradigma seperti itulah yang menyumbang kegamangan sosilogis oleh karena keinginan yang di bawah (yang direpresentasikan oleh para guru) dengan yang di atas (produk para pemangku kekuasaan) tidak “equal”.

Yang kedua, generasi kita adalah anak-anak muda “made in digital”, selain pintar dalam memanfaatkan teknologi komunikasi, juga cerdas dalam memenuhi kebutuhan hedonistiknya, seperti game, chatting, dan aktivitas overuse of time lainnya, sehingga mereka menjadi terbiasa melupakan tugas utamanya sebagai seorang pelajar.

Bak gayung bersambut, ketika pandemi melanda negeri, jarak mereka dengan guru-gurunya semakin jauh dan jauh. Itu berarti, jarak dan waktu mereka untuk mendapatkan pencerahan, sentuhan spiritual lewat tatap muka, dan untuk mengumpulkan cermin keteladanan sebagai bekal ketika berhadapan dengan problematika hidup, semakin pudar, mendekati ketidakpastian. Dari sinilah kemudian muncul pola pikir dan pola hidup yang tak terbimbing (the uncontrolled attitude).

Bila kehidupan anak-anak muda tidak terkontrol oleh kekuatan nilai-nilai keilmuan yang diperoleh dari guru-guru mereka, hampir bisa dipastikan, masyarakat kita akan memikul beban dan tanggungjawab yang amat berat di satu sisi. Di sisi lain, masa depan masyarakat ideal sangat pula ditentukan oleh generasi sesudahnya.

Kini, wajah pendidikan kita kelihatan “kusut”, kehilangan motivasi dan gairah untuk bangkit menghadapi tantangan. Pandemi yang tak jua usai, semakin memburamkan wajah itu.

Pada saat yang sama, walau tidak secara keseluruhan, setiap rumah (sebagai : almadrasatul uulaa) dihuni oleh anak-anak yang hanya bisa mencatat setiap tugas dari guru-gurunya melalui “daring” dan mereka sebenarnya sedang dihantui oleh kegamangan itu.

Penulis : Moh. Husein Rowy
Guru MAN Sumenep

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button