Jam Istirahat
Administrator maduratoday.com
Madura Today – Waktu itu, sekolahku baru mampu mendatangkan bangku. Perasaan anak-anak bercampur antara bahagia karena bisa duduk di bangku seperti sekolah lain—sebelumnya kami duduk berjejer di lesehan—dan cemas karena pasti ruang bermain di kelas kami semakin sempit dan semakin repot menyapunya.
Lingkungan sekolah menjadi lapangan bermain saat jam istirahat. Aku suka mengejar Era. Ia adik kelasku yang selalu berbuat usil dan aku kesal. Tetapi, suatu hari saat ia sakit dan tidak masuk sekolah, aku merasa kosong.
“Pia meninggalkanmu.”
“Aku tidak membutuhkannya.”
Era bilang Pia adalah pacarku yang meninggalkanku. Padahal kami jarang berbicara satu sama lain. Aku hanya bertemu dengan Pia setiap hari kamis saat ia berkunjung ke rumah iparnya yang kebetulan tetanggaku.
Ia gadis yang manis dan berkulit gelap. Aku merasa canggung karena ia orang baru. Lalu Era menganggap kecanggungan itu adalah tanda perasaan suka sebagaimana terjadi di sinetron-sinetron. Saat kami sudah mulai akrab, Pia tak pernah datang lagi pada Kamis berikutnya.
Kata Era, itu karena Pia sedang berusaha mencampakkanku. Perkataan konyol itu membuatku kesal dan langsung mengejarnya sambil membawa penghapus papan tulis.
Ia lari dari kelas ke kelas, melewati deretan bangku yang panjang ke belakang, kadang bersembunyi di belakang bangku guru. Saat menemukannya, aku menempelkan penghapus itu tepat di pipinya. Ia lalu cemberut dan aku terus mengulanginya lagi.
Kami nyaris melakukan itu setiap jam istirahat. Tetapi, saat aku naik kelas enam, perubahan terjadi. Anak-anak sering memojokkan kami. Mereka bilang, kami bisa menjadi pasangan yang bahagia. Sejak itu, Era semakin jarang bermain denganku. Aku ingin mengajaknya tapi segan. Saat itu kebahagiaanku terasa direnggut.
Tetapi, kupikir-pikir aku memang menyukai Era. Ia mampu membuatku senang berlama-lama di sekolah. Setidaknya itu juga mengurangi beban pikiranku yang hendak menghadapi ujian nasional. Sekarang, aku dan Era hanya bicara hal-hal penting saja dan itu tidak menyenangkan lagi.
Suatu hari aku melihatnya bermain kejar-kejaran dengan Gio pada jam istirahat pertama. Mereka berdua terlihat ceria sekali dan aku tidak menyukainya. Biarpun Gio adalah teman dekatku, aku ingin mematahkan tulang lengannya kala itu tetapi tidak berani. Tetapi, Era bilang sama sekali tidak terganggu. Malah Ia senang karena Gio gampang kesal sepertiku dan mereka berdua tidak canggung.
“Aku capek sekali. Dia larinya cepat sekali.”
Aku diam saja memandang Era yang sedang bercerita sambil tertawa. Matanya menyipit saat sedang terbahak-bahak dan itu yang kutunggu-tunggu. Jika ia terus berbicara dan tertawa seperti itu, aku sanggup mendengarnya selama berjam-jam.
Tak lama saat menyadari dirinya tengah ku pandangi, keningnya berkerut. Mungkin ia kesal, tetapi tidak apa-apa karena justru pesona semakin terlihat saat keningnya kerut. Kata kakak kelasku, kening perempuan bisa dicium dan itu membuatnya senang. Aku ingin mencium keningnya tetapi tidak berani.
“Kata Gio, besok mau main kejar-kejaran lagi di jam istirahat.” Era mengatakannya dengan penuh semangat seolah Gio punya peran sangat penting dalam memulihkan kegembiraannya.
Aku tidak menyukai ini dan ingin melarangnya bermain dengan Gio lagi, tetapi aku diam saja. Dan setiap jam istirahat, aku tidak tenang memikirkan apakah Era akan menanggapi main kejar-kejaran lagi di jam istirahat yang dikatakan Gio. Sejak hari itu, aku tak benar-benar punya jam istirahat—yang tenang, tentunya.
Penulis : Michael Musthafa
Alumni LPI Nurul Jadid dan PP. Annuqayah. Sekarang belajar di UIN Suka Yogyakarta.