Menuju Pilkada Sumenep yang (Sebenarnya) Biasa-biasa Saja
Madura Today – Dalam perang, kita hanya bisa terbunuh sekali. Tapi dalam politik, kita bisa mati berkali-kali. Pernyataan Winston Churchill, seorang politikus Britania Raya, bisa menjadi koreksi kepada diri kita. Saat kita menjadi relawan, atau bahkan menjadi lawan (politik), apa yang sebenarnya kita harapkan?
Mungkin kita candu untuk diiming-imingi kebahagiaan. Tapi, segaris dengan itu, kita juga diintai oleh kekecewaan. Dalam politik, kadang kita adalah pendekar tangguh yang tidak sadar sedang diperbudak oleh muslihat kekuasaan.
Maka, sebagai usulan, dinamika Pilkada Sumenep, yang lebih kencang gimmick daripada gagasannya, perlu dipandang dengan cara yang lebih sederhana. Tujuannya agar, pertama, akal kita tetap sehat melihat mesin politik bekerja.
Sebab, hidup di negara demokrasi, suka atau tidak, kita harus menyetujui ucapan Robert Byrne: demokrasi diizinkan untuk memilih kandidat yang paling tidak kita sukai. Kurangilah untuk membenci antar sesama.
Kedua, kita harus punya waktu untuk tenang. Tidak merasa diburu oleh kritik lawan atau sibuk membuat pembelaan. Kita harus ingat bahwa politik dikerjakan oleh politisi. Dan Nikota Krushchev menyindir: Politisi semuanya sama. Mereka berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada sungai.
Ketiga, kita musti berani melihat politik dari jauh, memposisikan diri sebagai korban (politik). Dan andai kita adalah korban politik, kebahagiaan apa yang bisa kita ingat? Dan kekecewaan apa yang bisa kita lupakan? Politik tidak pernah bertuan pada satu juragan.
Walakin, jika tidak berkenan memposisikan diri sebagai korban (politik), paling tidak, kita tidak perlu melihat politik sebagai ancaman atau alat untuk melumpuhkan lawan. Tidak perlu. Sekali waktu, kita harus berani menjadi orang biasa, tidak menjadi relawan atau lawan (politik) semata.
Dengan cara itu, kita akan melihat dinamika politik di Sumenep menjadi sangat biasa-biasa saja. Misalnya, heboh soal politik uang. Hemat saya, semua kontestan memiliki peluang yang sama untuk melakukanya. Maka, ketika para relawan masih sibuk berbalas gurindam tentang politik uang, untuk apa? Buang-buang tenaga. Sebab keduanya punya peluang yang sama.
Kedua kontestan sudah sama-sama tahu bagaimana politik bekerja. Dan apakah peluang bermain uang akan dilakukan? Itu adalah rahasia dan sikap politik dari masing-masing kontestan. Lalu untuk apa diperdebatkan? Agar para gelandang(an) politik punya pekerjaan bercuan.
Sebagai orang awam, dan berusaha biasa-biasa saja, Pilkada Sumenep sudah selesai di pikiran saya. Jika patahana menang, itu sudah wajar. Dan jika penantang menang, bukankah politik memang ada anomalinya? Tidak ada hal baru dalam politik. Tapi kita terus menerus sibuk membuat gimmick, untuk apa?
Pilkada Sumenep terasa lebih marak gimmick daripada gagasannya. Masing-masing relawan terus-menerus sibuk membuat labelisasi dan validasi. Sibuk membuat pembelaan dan mencari-cari kesalahan.
Mungkin ucapan Groucho Marx ada benarnya: Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya secara salah, dan menerapkan solusi yang salah. Salam awam saja.
Nur Khalis
Nur Kholis atau NK Gapura adalah jurnalis Kompas TV yang bertugas di Madura. Pria kelahiran Sumenep yang juga aktif menulis seputar isu politik, hukum dan kehidupan sosial sehari-hari.