Nampa Madura, Sebuah Tradisi Permulaan Momen yang Tak Biasa
Madura Today – Menjelang Ramadhan tahun ini, ingatan saya terbang pada dering telepon tiga tahun lalu ketika masih tinggal di Yogyakarta. Kala itu hari puasa pertama ketika umi menelepon dan menanyakan menu sahur sebagai bagian dari tradisi Nampa.
Bukan tanpa alasan, pertanyaan ini mengarah pada kebiasaan manusia Madura yang terbiasa memulai puasa pertama dengan menu sahur yang setidaknya sedikit istimewa. Jika lauk pauk untuk sahur selepas hari pertama adalah tahu tempe, maka setidak-tidaknya telur akan menjadi menu bagi sahur puasa pertama. Lauk ayam atau daging sapi tentu lebih baik.
Sebagai manusia madura yang berupaya melestarikan tradisi, terang saja saya tidak lupa tradisi nampa. Di momen sahur hari pertama saya memang kelimpungan mencari menu yang sedikit istimewa. Bersama teman kos, saya menyusuri jalanan Jogja yang begitu dingin sekira jam tiga pagi.
Menu sahur hari pertama tidak jarang menjadi sesuatu yang cukup penting bagi sebagian besar manusia Madura. Urgensi menu tersebut telah dipraktikkan dan diajarkan begitu rupa oleh sesepuh kepada generasi belia.
Inilah mengapa kebiasaan tersebut tertanam begitu rupa dan terbawa sampai saya dewasa sekalipun tidak berada di tanah Madura.
Para tetua Madura mengajarkan bahwa bulan mulia serupa Ramadhan baiknya dimulai dengan sesuatu yang berbeda. Habituasi ini kemudian lazim dikenal dengan tradisi Nampa.
Istilah Nampa dalam bahasa Madura bermakna penerimaan dengan tangan menengadah dan terbuka. Alasan mengapa manusia Madura menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan penyambutan bulan Ramadhan tampaknya dekat dengan kesiapan mereka menerima sesuatu.
Dalam konteks Ramadhan, tentu masyarakat Madura bersikap terbuka dan penuh penerimaan akan datangnya bulan istimewa yang hanya hadir satu tahun sekali.
Ragam persiapan makanan sahur sebenarnya bukan satu-satunya jenis praktik tradisi nampa, akan tetapi semua tindakan khusus menyambut Ramadhan dapat dikategorikan bagian dari nampa.
Di belahan daerah Madura yang lain¸ nampa dapat berwujud kegiatan mengantar makanan ke pusat-pusat tempat peribadatan seperti masjid atau musala.
Setiap penghuni rumah akan membawa olahan masakan ke tempat ibadah terdekat atau ke rumah tetua kampung yakni kiai dalam konteks manusia Madura.
Demikian pula ada yang melengkapi tradisi Nampa dengan ritual ziarah kubur ke makam keluarga yang telah lebih dulu berpulang (kosaran). Inilah mengapa menjelang bulan suci lazim ditemukan pemandangan para peziarah yang memenuhi kompleks pemakaman umum.
Tradisi Nampa menjadi satu dari sekian bukti bagaimana varian Islam kultural berkembang di Nusantara khususnya Madura. Islam kultural umumnya terjadi setelah proses dialektika antara budaya Madura dengan Islam yang pada akhirnya menciptakan tradisi esoterik dan khas.
Seiring laju perkembangan masyarakat, tradisi semacam nampa menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari manusia Madura dan justru lestari. Bagaimana riuh rendah persiapan nampa juga menentukan bagaimana mereka berinteraksi sekaligus mengikat rasa identitas bersama melalui sistem adat istiadat yang berkesinambungan.
Dengan demikian, ritus nampa menjadi cara orang Madura mengekspresikan ajaran agama yang diterima kebenarannya dan telah terinternalisasi dalam diri mereka.
Kita dapat menyebut kualitas orang Madura yang dicerminkan oleh tradisi nampa sebagai kompetensi sosial atau kelancaran budaya yang tidak memandang segregasi gender. Baik laki-laki atau perempuan berjibaku mempersiapkan diri menyambut hadirnya bulan mulia.
Lebih jauh dapat pula dikatakan bahwa tonggak tradisi nampa sebenarnya berpusat pada keberadaan kaum perempuan. Mereka memainkan peran selaku penyokong utama ketersediaan konsumsi yang menjadi media utama terselenggaranya tradisi nampa.
Keseriusan manusia Madura mengupayakan kelestarian tradisi nampa menunjukkan bagaimana kedudukan Ramadhan yang begitu penting. Tidak terbatas pada semaraknya hari-hari bulan Ramadhan, mereka bahkan mempersiapkan diri lebih awal menyambut kedatangannya dengan sesuatu yang tidak biasa.
Selepas itu, rumah ibadah seperti masjid dan musala akan berada pada kondisi terbaiknya yang menampung jamaah lebih banyak dari hari biasa. Pengajian nyaris tidak pernah sesering saat bulan Ramadhan atau bahkan digelar hampir setiap hari. Demikian juga dengan media yang mengalami Islamisasi sementara demi menyuguhkan performa terbaiknya.
Membincang tradisi Nampa maka berarti juga mendiskusikan sebuah gagasan mengenai suatu kelompok kecil bangsa dengan ortodoksi dan religiusitas yang ketat. Tidak ada tradisi nir-makna bagi manusia Madura sebab apapun yang mereka lestarikan selalu mengandung filosofi tertentu yang erat kaitannya dengan ekspresi keagamaan.
Barangkali ini disebabkan oleh falsafah kehidupan abhântal syahâdât, asapo’ iman milik orang Madura yang mencerminkan betapa dalam mereka menjadikan agama sebagai fondasi kehidupan. Segala tindakan yang berkaitan dengan agama selalu istimewa tidak terkecuali penyambutan momen Ramadhan. Tersebab bulannya istimewa, maka meminang dan menyambutnya tidak cukup sekadar biasa-biasa saja.
Syarifah Isnaini
Syarifah Isnaini merupakan mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Penulis dapat disapa di sosial media @syarifahitsnaini (instagram) dan Super-Syarifah (Twitter).