Pelukan Ra Mamak-Ra Fikri, dan Pesan Ir. Soekarno
Administrator maduratoday.com
Madura Today – Saat gowes di seputar kota, Minggu pagi, seorang kawan bertanya: Kenapa saat Ra Mamak berpelukan dengan Ra Fikri di KPU, tidak kamu buat catatan? Dengan lekas saya jawab bahwa ada perasaan takut. Keduanya adalah guru tak langsung yang saya hormati.
Hanya saja, tak lama kemudian, keinginan hati untuk mengapresiasi momen itu meledak juga. Dengan bermodal nekat dan mengesampingkan perasaan takut, catatan sederhana ini saya mulai.
Diakui atau tidak, Ra Mamak dan Ra Fikri adalah pembeda di momentum politik kali ini. Kabar angin menyebutkan, ada satu dua calon di Pilbup yang telah mengobok-obok salah satu pesantren kharismatik di Sumenep ini. Bagi saya, itu tidak lepas dari daya tarik mereka berdua.
Dinamika dalam politik adalah wajar. Bahkan sebagian kawan menyebut itulah fitrahnya. Dan momen saat dua putra pesantren ini berpelukan, di KPU, mungkin bagian dari fitrah itu.
Bagi orang awam, momen ini membuktikan bahwa politik khas pesantren selalu menunjukkan rasa hormat, bukan sekedar senyum seremonial yang mungkin sama sekali tidak menyelesaikan dendam. Meskipun bisa jadi pelukan itupun dianggap drama. Wajar ada sudut pandang berbeda.
Saya, kala itu, berada sekitar tiga meter saat Ra Mamak dan Ra Fikri berpelukan. Ra Fikri, yang awalnya tampak canggung, memeluk erat sang adik sesaat sebelum duduk di kursi calon pendaftaran sebagai wakil bupati di KPU.
Ra Mamak, sebagai ketua partai, duduk tepat di belakang sang kakak yang sedang memulai pembicaraan dengan sejumlah komisioner KPU. Keduanya berusaha tenang dengan posisinya masing-masing.
Kala itu, saya teringat ucap Soekarno, bahwa musuh yang paling berat adalah bangsa sendiri. Ra Mamak dan Ra Fikri, kala itu, seperti sedang merayakan kemenangan karena berhasil menyelesaikan perang terberat itu. Keduanya adalah saudara. Itu tidak bisa ditukar dengan apapun.
Ra Fikri, berhasil menunaikan amanah partai, hingga menuju pendaftaran. Dan Ra Mamak, berhasil melawan kusutnya dinamika politik dengan sikap santri yang jarang ditemukan.
Momen epik ini, umpama setitik susu di antara nila sejamban. Meskipun sikap keduanya tidak mengubah wajah politik kita, paling tidak, tanda setitik itu pernah ada.
Terakhir. Keduanya mengajarkan bahwa mengalahkan bangsa sendiri bukan perkara gampang. Akan tapi jika berhasil, musuh pun pasti akan memberikan penghormatan.
Catatan : Nur Khalis alias Abil
Wartawan Kompas TV