Tuhan Diusir dari Kampung Kita
Administrator maduratoday.com
Madura Today – Di negeri yang orang-orangnya kurang paham keberadaan agama, Tuhan tak akan diberi tempat. Ia akan diusir jauh-jauh. Lagi pula, tidak diusirpun akan pergi sendiri karena tak berguna apa-apa. Bukankah begitu?
“Seperti di kampung kita?,” tanyamu di suatu sore sambil menyesap teh. Kau tak suka kopi di rumahku karena pasti sering mual jadinya. Kubuatkan teh untuk menahanmu agar bisa lebih lama mengobrol.
“Ya, sepertinya,” jawabku ragu. Kau tak pernah tersinggung atas semua sikapku karena kita sudah karib sejak dulu. Untuk obrolan ngawur seperti ini, emosimu tentu tak gampang terpancing.
Apalagi, kupandang-pandang kau sedang berusaha mencernanya. Tak ada alasan untuk marah. Biar kuberitahu, kalau Tuhan benar-benar punya tempat di kampung kita, masyarakat pasti melakukan apa-apa dengan hati-hati karena merasa diawasi.
Kau tetap diam. Tak ada sepatah katapun diungkapkan meski kuharap-harap. Apa obrolan ini terlalu berat? Tidak. Ini obrolan ringan dan sederhana. Kita bisa menilai keberadaan Tuhan berdasarkan pada perilaku hidup hambanya.
“Aha! Aku baru paham,” katamu dengan semangat. Kulihat matamu berbinar-binar seperti mendapat hadiah besar-bisa paham jalan obrolan ini hadiah besar kok. Semenjak paham arah obrolan, aku jadi berjam-jam menjadi pendengarmu. Kubiarkan kau mengoceh luntar-lantur. Pikiran kita sedang keluar dari jasad.
“Iya, Bis. Di pikiranku, kalau Tuhan benar-benar ada di sini, hidup kita enak. Apa-apa lancar, nggak ada korupsi, kongkalikong, penipuan dan semacamnya. Atas kuasa-Nya, masalah-masalah kecil itu pasti bisa atasi. Penjahat-penjahat yang mau mencelakai kita tentu sudah tewas,”.
Aku terkekeh mendengar itu. Rupanya, kau juga bisa cerewet membicarakan hal menakutkan seperti ini. Di kampung ini, mungkin hanya kita yang sanggup menguji kekuasaan Tuhan begini. Itulah yang membuatku ingin pacarmu, atau kalau bisa suamimu. Kita sudah cocok dalam masalah ini.
Bayangkan namaku, Bismo akan ditambah ke namamu menjadi Rina Bismo. Lalu orang-orang akan memanggilmu Nyonya Bismo. Betapa bahagianya.
Aku akan merasa bahagia, juga bersemangat untuk menafkahi istri yang sepemikiran denganku. Orang-orang yang punya pemikiran terbuka tentu tidak akan mudah marah menghadapi suatu masalah. Bawaannya selalu enteng dan tidak menjadi beban.
Aku selalu ingat perkataanmu waktu kita sedang berada di Lapas: saat orang menegurmu, jangan selalu tersinggung, tetapi selalulah tersindir. Kalau kau tersinggung, kau hanya akan marah tetapi tak tahu apa-apa. Lagi pula apa menguntungkannya kita tersinggung? Dengan tersindir, kita akan paham kelemahan kita dan bagaimana seharusnya ke depan. Itu masuk akal.
“Kau tidak salat, kan?,” Tanyamu membuyarkan lamunanku. Aku kaget, kenapa sekarang kau berani mengurusi keimananku. Ini privasi. Urusanku sama Dia. Secara jujur aku menjawab tidak. Aku memang tidak pernah salat lagi sejak tahun lalu. Sampai sekarang, aku belum punya motivasi untuk kembali salat lagi.
Sebelum aku memaparkan alasan tidak salat, kau menyela. “Bagus,” katamu. “Buat apa kita salat kalau Tuhan sudah pergi dari kampung kita?,” tambahmu sembari terkekeh. Kau seperti puas untuk semua ejekan ini. Kadang aku heran kenapa tidak terbesit rasa takut dalam dadamu. Keberanian itu yang membuatku salut. Orang lain tak mempunyai ini.
Tetapi, diam-diam aku ingin sekali menahanmu untuk berbicara ngelantur lebih jauh. Dampaknya akan sangat berbahaya bagi mental. Bayangkan jika kau jadi ragu pada Tuhan. Kau mengira Dia tak punya kuasa apa-apa sehingga kampung kita tetap kacau.
Lalu, orang-orang yang tahu isi pikiranmu merasa risih. Lama-lama kau akan diusir juga dari kampung ini, pergi bersama Tuhan yang kau kejar-kejar sekaligus kau ejek-ejek.
Tunggu, kau teman terdekatku. Orang-orang tentu beranggapan bahwa pemikiran semacam ini berkaitan denganku, datang dariku. Itu artinya aku ikut diusir. Oh jangan, Rina! Aku tidak mau diusir. Aku mau cari aman aja. Selagi sesuatu tidak menguntungkanku, aku ingin menghindarinya.
“Pengecut!,” ujarmu. Perkataan pedas itu diiringi mata membelalak dan muka merah yang menandakan amarah. Bibirku gemetar.
“Kau enak tinggal di sini, di negeri yang penuh penghianatan, korupsi, minim ilmu pengetahuan, kaku dan tidak jelas?,” Bentakmu. Kalau iya, mengapa mengobrol tema ini? Kau tidak pernah yakin pada prinsipmu untuk selalu jujur. Menurutmu, kita dan masyarakat pernah mencintai Tuhan? Ada banyak cara mencintai Tuhan. Kita bisa melakukannya dengan cara tidak mencuri, tidak mencelakai orang, dan berkata benar. Inilah kebenaran yang harus kita suarakan. Tidak penting itu menyakitkan.
Masyarakat atau bahkan orang-orang terdekat kita boleh jadi tidak pernah mengenal Tuhan. Mereka membaca doa-doa, memuja-muja dengan bahasa asing padahal tak paham isinya. Kalau mereka benar menyembah Tuhan, tentu mereka tahu bahwa Dia tak suka hamba-Nya menjadi pengacau atau diam atas kekacauan ini. Faktanya, siapa yang peduli pada kekacauan di kampung kita ini?.
Melihatku diam membeku, kau melempariku pertanyaan konyol “Hey, apa begini sensasinya mengobrol tentang filsafat?,” Aku tidak menjawab. Pikiranku kacau memikirkan semua pertanyaanmu.
Kubilang, “bukan Dia yang tidak mengabulkan doa kita. Tetapi, kita lah yang tak pernah serius memintanya,”.
Kau menyela, “ya. Memang kita yang tak sering meminta pada-Nya, menyembah-Nya. Kita selalu melanggar dan berpaling. Adakah itu sikap menghargai dan mencintainya? Ya, Tuhan tidak pergi sendiri dari sini. Kita lah yang mengusirnya segala perbuatan buruk selama ini,”.
***
Pikiranku tak pernah sembuh dari kacau sejak obrolan itu. Aku dan Rina tidak salat dan mengaji lagi. Saat orang menyarankan untuk memikirkan ulang, kami menjawab: Tidak ada gunanya. Selama ini Dia tak pernah mengabulkan doa kami. Dia sudah pergi meninggalkan kita dengan kekacauan ini. Lihat, Dia tidak mampu memperbaikinya.
Mereka terbelalak. Pernyataan dan sikap kami membuat mereka tersinggung, tapi tidak berhasil membuat tersindir. Tidak Sebelum kegilaan ini menyebar, mereka sepakat untuk mengusir kami.
Bulan Juni tahun 1996, kami pergi meninggalkan kampung yang kami cintai, kampung yang berisi orang-orang saleh yang suka marah, kampung di mana orang-orang tergopoh-gopoh datang menyembah Tuhan untuk keperluan uang jajan, kampung di mana uang lebih berharga daripada Tuhan sendiri.
Penulis : Michael Musthafa
Alumni Nurul Jadid Karduluk Sumenep,
Belajar di UIN Suka Yogyakarta.